Senin, 19 Desember 2011

PENDIDIKAN & KORUPSI


“Apa sih tujuan pendidikan?”. Mungkin ketika pertanyaan ini diberikan kepada kita jawabannya macam-macam. Bisa diperkirakan bahwa jawaban yang akan banyak muncul adalah agar menjadi pintar atau jawaban sejenisnya. Dan memang inilah sebenarnya hakekat dari pendidikan, yaitu membuat manusia menjadi pintar, mengerti dan bisa memahami apa yang disampaikan guru. Pendidikan memang dapat didapatkan dari mana-mana, bahkan ketika kita membuang sampah pun kita dapat memperoleh pendidikan. Tetapi yang paling identik dengan pendidikan adalah sekolah, dari mulai TK sampai perguruan tinggi, dan ukuran tingkat pendidikan sebuah wilayah maupun Negara juga dilihat dari sekolah.
Cakupan pendidikan tidak hanya akademik, tetapi juga moral dan mental. Tetapi faktanya tidak seperti itu, pendidikan kita adalah pendidikan angka yang disimbolkan dengan ijazah. Moral dan mentalitas siswa kadang-kadang menjadi urusan belakangan, dan hasilnya adalah Indonesia sekarang ini. Proses pendidikan selama bertahun-tahun ini terabaikan dengan beberapa hari yang penuh kemunafikan. “Hari kemunafikan itu adalah ujian” (saya katakan ini karena saya pernah menjadi pelakunya)
INDONESIA MENJADI NEGARA DENGAN TINGKAT KORUPSI TERTINGGI. Tidak perlu kaget dengan fakta ini, dan sepertinya memang sudah disadari tetapi terus saja berlanjut. korupsi adalah hasil dari pendidikan kita,  karena pendidikan kita hanya mengejar prestasi yang berupa angka, dan angka identik dengan uang.
Coba kita tengok dengan system evaluasi pendidikan Negara kita yaitu Ujian Nasional. Saya merasa ini merupakan system yang sangat tidak adil dan mengajarkan kebohongan. Beberapa sekolah (tetapi banyak) menyadari bahwa siswa-siswanya kurang mampu untuk menghadapi ujian nasional dan penyebab utamanya adalah pemerataan pendidikan. Tetapi sekolah tetap berupaya agar siswa-siswanya lulus dan bahkan yang mereka lakukan adalah “BOHONG” dengan cara yang bermacam-macam seperti menyuruh siswa bekerja sama atau mengganti jawaban. Ironisnya hal ini dilakukan dengan terang-terangan dan di anggap lumrah.
Kebohongan merupakan embrio dari korupsi. Siswa yang diajari kebohongan akan terbiasa berbohong, dan bohong sudah bukan hal yang tabu. Sampai ketika dewasa dan bekerja kebiasaan ini masih bisa terbawa, dah hasilnya adalah KORUPSI!!!!!
Lalu siapa yang salah? Tidak dapat menyalahkan salah satu pihak, karena memang dari akarnya juga sudah salah. Kesalahan terbesar adalah kita lupa mengajarkan pendidikan moral. Tentunya orang dengan moralitas yang baik tidak akan bohong. Tetapi moral saat ini sudah kalah dengan computer, matematika, bahasa inggris, dan pelajaran-pelajaran lainnya.
Lalu apa yang perlu dilakukan? Kembalikan dan laksanakan pendidikan sesuai hakekat yang sebenarnya yang tidak hanya mengejar angka dan pengakuan. Pendidikan bukan hanya untuk mendapat ijazah dan mencari kerja, tetapi untuk kehidupan sehari-hari bahkan ketika kita tertidur.
Kita semua punya potensi korupsi. Belum tentu para aktivis anti korupsi itu tidak mau korupsi. Coba saja kalau ada kesempatan, bisa saja mereka termakan omongan. Tetapi BENTENG terkuat untuk mencegahnya hanya moral.
Tulisan ini HANYA refleksi dari pengalaman dan pandangan saya. Itu saja. 

Internet: Antara Arus Perkembangan Teknologi dan Kemerosotan Moral


Perkembangan tekonologi informasi dalam sepuluh tahun terakhir semakin pesat. Salah satu teknologi informasi yang tumbuh sangat cepat adalah adalah internet. Internet merupakan kepanjangan dari Interconnected network. Jika diterjemahkan secara langsung berarti jaringan yang saling terhubung. Jika didefinisikan secara lengkap, internet adalah kumpulan komputer yang terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah jaringan. Semua kalangan masyarakat sudah tidak asing dengan internet, tidak terbatas status sosial maupun usia. Menurut data dari Kementerian Kominfo pengguna internet kita saat ini jumlahnya 45 juta. Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an, saat itu internet hanya digunakan pada golongan-golongan tertentu khususnya masyarakat menengah keatas dan akademisi. Penggunaan internet pun cenderung terbatas pada urusan-urusan yang dinilai penting saja. Namun saat ini kenyaatannya sangat jauh berbeda, semua golongan masyarakat sudah mulai menggunakan internet untuk berbagai kebutuhan, dari sekedar media berkomunikasi sampai pada urusan penting. Kemudahan dalam mengakses internet merupakan salah satu penyebab meluasnya peggunaan internet, karena saat ini sangat banyak provider internet yang menyediakan internet murah dan alat untuk mengakses internet yang kini tidak hanya terbatas pada komputer saja.
Internet memberikan informasi yang tidak terbatas. Berbagai informasi dapat diperoleh hanya dengan mengetik kata kunci dari informasi yang ingin dicari. Ketidak terbatasan informasi ini memang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang menggunakannya dan haus akan informasi, dan tidak jarang banyak orang yang kecanduan dengan teknologi informasi yang satu ini. Informasi yang tidak terbatas ini juga tidak lepas dari efek negatif, kurangnya system penyaringan informasi membuat banyak informasi bisa diakses oleh orang-orang yang tidak seharusnya memperoleh informasi tersebut. Salah satu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini berkaitan dengan penggunaan internet adalah konten porno. Budaya, norma social mapaun agama yang ada di Indonesia tidak adanya yang membenarkan tentang pornografi, namun doktrin pornografi ini sangat sulit dicegah dimasa sekarang ini karena akses untuk mendapatkan hal tersebut dimana ditemukan dimana-mana tanpa adanya pengawasan. Selain pornografi, konten-konten lain seperti kekerasan dan perjudian juga berpotensi merusak moralitas pengguna internet. Selain itu bentuk-bentuk penipuan juga marak dilakukan melalui internet. Situs-situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, yahoo dan berbagai aplikasi chating yang tersedia memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pergaulan yang tidak terbatas dan tidak jarang mereka terjerumus dalam pergaulan yang menyimpang. Sementara itu meskipun banyak manfaat dalam pengembangan pendidikan, internet juga memiliki dampak negatif seperti meningkatkan terjadinya plagiasi pada penulisan karya-karya ilmiah.
Semakin lama pertumbuhan penggunaan internet semakin meningkat. Pemerintah dan produsen provider internet pun berlomba-lomba untuk memperluas jaringan internet ini hingga ke pelosok-pelosok desa. Arus informasi negatif yang akan merusak moral penggunanya juga semakin tidak terbendung bila tidak segera diantisipasi dengan baik. Tetapi hal ini harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan tidak hanya memikirkan keuntungan dari sebagian pihak saja.

Jumat, 18 November 2011

TEORI SOSIAL KOGNITIF


Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2009) teori sosial kognitif adalah sebuah teori yang memberikan pemahaman, prediksi, dan perubahan perilaku manusia melalui interaksi antara manusia, perilaku, dan lingkungan. Teori ini didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Albert Bandura (dalam Santrock, 2010) mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasikan pengalaman mereka secara kognitif.
Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal, memprediksi perilaku dan mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut. Teori ini menjelaskan bahwa dalam belajar, pengetahuan (knowledge), pengalaman pribadi (personal experience), dan karakteristik individu (personal characteristic) saling berinteraksi.
Menurut Ormrod (2006) dalam teori sosial kognitif terdapat lima asumsi dasar antara lain; seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain, belajar merupakan proses internal yang memiliki kemungkinan mempengaruhi perilaku, perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan, perilaku akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan asumsi terakhir dari teori sosial kognitif adalah reinforcement dan punishment memiliki efek secara tidak langsung pada belajar dan perilaku.

SOCIAL LEARNING THEORY
Salah satu konsep yang dikembangkan Bandura yang berkaitan erat dengan teori sosial kognitif yaitu social learning theory. Teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan faktor lingkungan (Chowdhury, 2006). Belajar terjadi baik sebagai akibat dari respon dari pengalaman sendiri (yaitu, pandangan belajar operan) dan melalui mengamati efek pada lingkungan sosial dari perilaku orang lain. Dalam Slavin (2008) disebutkan bahwa teori pembelajaran sosial dilatarbelakangi dari Bandura yang memandang perilaku individu tidak hanya refleks otomatis (Stimulus – Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses mental internal individu tersebut. Prinsip belajar menurut teori ini menunjukkan bagaimana observasi diri terhadap lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku dan proses kognitif dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dipelajari secara langsung maupun dari pengalaman orang lain.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam analisis Bandura, 1986 (dalam Woolfolk, 2004) ada beberapa fase tentang observational learning atau modeling yaitu; fase perhatian, fase pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi. Yang penjelasan dari fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Fase Perhatian
Pada fase ini siswa memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Pada umumnya, siswa memberikan perhatian pada panutan yang memikat, brehasil, menarik, dan popular. Di ruang kelas, guru mendapatkan perhatian siswa dengan menyajikan isyarat yang jelas dan menarik, dengan menggunakan sesuatu yang baru dan kejutan, dan memotivasi siswa.

2.    Fase Pengingatan
Begitu guru mendapatkan perhatian siswa, kinilah saatnya mencontohkan perilaku yang mereka inginkan dan kemudian member kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan dan berlatih.
3.    Reproduksi
Selama fase ini siswa mencoba untuk mencocokkan perilaku mereka dengan perilaku orang yang ditiru.
4.    Fase Motivasi
Dalam tahap ini siswa akan meniru orang yang akan ditiru karena mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan perluang mereka sendiri dikuatkan

Determinisme resiprokal
Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konskuensi tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan reciprocal determinism.
Faktor-faktor sosial seperti model, panutan, strategi instruksional, dan umpan balik (elemen-elemen lingkungan untuk siswa) dapat mempengaruhi faktor-faktor personal siswa, seperti tujuan, sense of efficacy untuk suatu tugas, atribusi dan proses-proses self-regulated seperti merencanakan, memonitor, dan mengontrol distraksi. Pengaruh sosial di lingkungan dan faktor-faktor personal mendorong perilaku untuk menghasilkan pencapaian seperti persistensi dan usaha serta pembelajaran. Akan tetapi, perilaku-perilaku ini juga berdampak secara resiprokal pada faktor-faktor personal.

Pengaruh Resiprokal
Sumber: “Social-Self Interaction and Achievement Behavior” dari D. H. Schunk, 1999 (dalam Woolfolk, 2004)

Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura (dalam Baron & Byrne, 2000), self-efficacy adalah penilaian seseorang akan kemampuannya atau menampilkan kompetensi, meraih tujuan, atau mengatasi suatu hambatan. Konsep self-efficacy menekankan peran dari observational learning dan pengalaman sosial dalam pengembangan kepribadian. Menurut teori Bandura (dalam Woolfolk, 2004), orang dengan self-efficacy yang tinggi yaitu mereka yang percaya mereka dapat melihat tugas-tugas sulit sebagai sesuatu yang harus dikuasai bukan sesuatu yang harus dihindari. Menurut Zimmerman (2000) tingkat Self-efficacy mengacu pada ketergantungan pada kesulitan dari suatu tugas tertentu, seperti meningkatnya kesulitan dalam ejaan kata-kata; berkaitan umum untuk pengalihan keyakinan self-efficacy di seluruh kegiatan, seperti dari aljabar untuk statistik; kekuatan efikasi yang dirasakan diukur dengan sejumlah orang yang telah melakukan tugas yang diberikan.

Sumber-sumber self-efficacy
Bandura (dalam Woolfolk, 2004) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada empat hal, yaitu:
-          Mastery experience adalah pengalaman langsung kita menjadi sumber informasi efikasi yang paling kuat. Pengalaman akan keberhasilan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya self-efficacy, khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
-          Physiological and emotional arousal merupakan reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang alert (siaga), bergairah atau tegang. Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.
-          Vicarious experience merupakan pencapaian yang dimodelkan oleh orang lain. Dalam vicarious experience, seseorang memberikan contoh penyelesaian. Semakin dekat siswa mengidentifikasi diri dengan sang model, akan semakin besar pula dampaknya pada efikasi diri. Bila sang model bekerja dengan baik, efikasi diri siswa meningkat, tetapi bila sang model bekerja dengan buruk ekspektasi efikasi siswa menurun. Meskipun mastery experience secara umum diakui sebagai sumber keyakinan efikasi paling berpengaruh pada orang dewasa, Keyser dan Barling (dalam Woolfolk, 2004) menemukan bahwa anak-anak lebih bersandar pada modeling sebagai sumber informasi efikasi diri. Modeling sendiri adalah perubahan dalam perilaku, pemikiran atau emosi yang terjadi melalui mengobservasi orang lain sebagai panutan.
-          Social persuation dapat berupa “pep talk” atau umpan balik spesifik atas kinerja. Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. Persuasi sosial sendiri dapat membuat siswa mengerahkan usaha, mengupayakan strategi baru, atau berusaha cukup keras untuk mencapai kesuksesan (Bandura, 1982 dalam Woolfolk, 2004). Persuasi sosial dapat menangkal setback yang telah menyebabkan seseorang meragukan dirinya dan menginterupsi persistensi. Potensi persuasi bergantung pada kredibilitas, dapat dipercaya dan keahlian pemberi persuasinya.

Self-efficacy, self-concept, dan self-esteem
Kebanyakan orang berasumsi bahwa self-efficacy sama dengan self-concept atau self-esteem, tetapi ternyata tidak. Efikasi diri lebih berorientasi masa depan, sedangkan konsep diri adalah konstrak yang lebih global dan berisi banyak persepsi tentang self, termasuk self-efficacy. Konsep diri berkembang sebagai hasil perbandingan eksternal dan internal, dengan menggunakan orang lain atau aspek-aspek self lainnya sebagai kerangka acuan. Menurut Bandura keyakinan self-efficacy merupakan prediktor yang kuat untuk perilaku, tetapi self-concept memiliki kekuatan prediktif yang lebih lemah (Woolfolk, 2009). Dibandingkan self-esteem, self-efficacy berkaitan dengan penilaian tentang kapabilitas pribadi, sedangkan self-esteem berkaitan dengan penilaian tentang harga diri.
Efikasi diri sebagai prediktor tingkah laku
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting yang bila digabungkan dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman akan menjadi penentu tingkah laku di masa mendatang. Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung pada kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda, kehadiran orang lain serta kondisi fisiologis dan emosional individu tersebut.

Efikasi Diri dan Motivasi
Bila kita memiliki sense of efficacy yang tinggi di bidang tertentu, kita akan menetapkan tujuan yang lebih tinggi, tidak terlalu takut gagal, dan menemukan strategi baru bila strategi lama gagal. Dalam penelitian yang dilakukan Graham dan Weiner tahun  1996 (Woolfolk, 2009) menunjukkan bahwa kinerja di sekolah meningkatkan efikasi diri bila siswa (a) mengadopsi tujuan jangka pendek sehingga lebih mudah untuk menilai kemajuannya; (b) diajari untuk menggunakan strategi belajar yang spesifik, seperti outlining (membuat garis besar atau ikhtisar) atau summarizing (merangkum) yang membantu mereka memfokuskan perhatian; dan (c) menerima reward berdasarkan prestasi/pencapaian, bukan sekedar keterlibatan, karena reward atas prestasi menandakan meningkatnya kompetensi. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada anak Sekolah Dasar, siswa membutuhkan dorongan dan dukungan motivasi, sedangkan pada tingkat pendidikan diatasnya lebih ditekankan mengenai strategi pencatatan atas materi apa yang dikuasai oleh siswa (Dignath & Buttner, 2008).

Teacher’ Sense of Efficacy
Pengertian dari Teacher’s sense of efficacy adalah keyakinan guru bahwa dirinya mampu menjangkau bahkan siswa yang paling sulit dan membantu mereka belajar. Salah satu aspek yang mempengaruhi efikasi diri dari guru namun sering terlupakan adalah kepuasan hubungan guru dan kepuasan dengan teman sejawat (Canrinus, 2011). Guru-guru yang optimistis mungkin menetapkan tujuan yang lebih tinggi, bekerja lebih keras, mengajarkan ulang bagaimana perlu, dan tetap bertahan saat mengahadapi masalah. Akan tetapi, beberapa manfaat mungkin timbul setelah meragukan efikasi sendiri. Keraguan dapat membantu terjadinya refleksi, motivasi untuk belajar, dan responsivitas yang lebih besar terhadap keanekaragaman, kolaborasi produktif, dan jenis disekuilibrium yang dideskripsikan Piaget yang memotivasi perubahan (Wheatley, 2002 dalam Slavin, 2008). Dengan kata lain, jika guru memiliki efikasi diri yang rendah maka siswa cenderung memiliki masalah dengan materi yang disampaikan oleh guru (Friedman, 2003).

Self-Regulated Learning
Pengertian dari self-regulated learning (pembelajaran regulasi diri) adalah proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulated learner memiliki keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajarannya lebih mudah, sehingga mereka lebih termotivasi, dengan kata lain mereka memiliki kemampuan, dan kemauan untuk belajar (McCombs & Marzano, 1990; Murphy & Alexander, 2000 dalam Santrock, 2010). Regulasi diri mentransformasikan kemampuan-kemampuan mental mereka, apa pun itu, menjadi keterampilan-keterampilan dan strategi-strategi akademik (Zimmerman, 2000).

Self-Regulated Learning dan Agency
Memiliki pandangan bahwa belajar adalah keterampilan yang akan diterapkan untuk menganalisis tugas-tugas belajar, menetapkan tujuan, dan merencanakan cara untuk mengerjakan tugas itu, menerapkan keterampilan, dan khususnya membuat keputusan tentang bagaimana belajar dilaksanakan dan model self-regulating learners didasarkan pada pendapat bahwa pembelajar adalah agents. Agency adalah kapasitas untuk mengoordinasikan berbagai keterampilan belajar, motivasi, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulating learners menerapkan agency ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama, antara lain:
1.      Menganalisis tugas pembelajarannya
Secara umum, pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk mengonstruksikan sense tentang seperti apakah tugasnya, sumber daya apa yang harus dimiliki, dan bagaiamana perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakannya.
2.      Menetapkan tujuan dan menyusun rencana
Mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi hasil kerja memberikan informasi yang digunakan oleh pembelajar untuk menetapkan tujuan belajar. Setelah itu rencana tentang bagaimana cara mencapai tujuan itu untuk dikembangkan.
3.      Menetapkan taktik dan strategi
Self-regulated learners sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu memantau seberapa baikkah rencana berjalan.
4.      Meregulasi pembelajaran
Dalam tahap self-regulated learming ini, pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu dilakukan perubahan pada ketiga tahap sebelumnya. Sebagai contoh, bila pembelajarannya lamban: haruskah anda belajar dengan sahabat anda? Apakah anda perlu mereviu beberapa materi sebelumnya yang merupakan fondasi bagi isi yang saat ini sedang anda pelajari?

Mengajar ke Arah Self-Efficacy dan Self-Regulated Learning
Siswa mengembangkan berbagai bentuk self-regulated learning (SRL) yang efektif secara akademik dan sense of efficacy untuk belajar bila guru melibatkan para siswa dalam tugas-tugas yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama. Siswa juga perlu memiliki kontrol tertentu atas proses dan produk pembelajarannya. Kunci dalam mencapai SRL dan sense efficacy adalah pemantauan diri dan evaluasi diri, guru dapat membantu siswa mengembangkan SRL dengan melibatkan siswa dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk belajarnya, lalu memberikan kesempatan untuk menilai kemajuan diri dengan menggunakan standar-standar itu. Selanjutnya, akan membantu untuk bekerja kolaboratif dengan sesama siswa dan mencari umpan baliknya. Siswa yang telah mencapai SRL secara efektif percaya bahwa kemampuan belajarnya dapat meningkat melalui usaha dan pengalaman, menghargai nilai dari tugas belajar, percaya diri akan kemampuannya sendiri, dan menggunakan internal locus of control dalam belajarnya (Paulsen & Fredman, 2005).
Tugas-tugas yang menantang merupakan tugas-tugas yang paling memotivasi dan bermanfaat secara akademik bagi siswa, tetapi tidak membuat mereka kewalahan. Dan perlu diingat bahwa tugas-tugas kompleks tidak perlu terlalu suli nagi siswa, kompleks disini mengacu pada rancangan tugas, bukan pada tingkat kesulitannya. Tugas disini dianggap kompleks bila mencakup banyak tujuan dan melibatkan banyak chunks makna, seperti proyek dan unit-unit tematik, butuh waktu lama, melibatkan siswa di berbagai proses kognitif dan metakognitif, dan memungkinkan munculnya berbagai hasil. Misalnya studi tentang piramida Mesir dapat menghasilkan laporan tertulis, peta, diagram, dan model. Yang lebih penting tugas yang kompleks memberikan informasi pada siswa tentang kemajuan belajarnya. Kesuksesan dalm tugas ini menaikkan self-efficacy dan motivasi intrinsik siswa.

Kontrol. Guru dapat berbagi kontrol dengan siswa dengan memberi pilihan pada mereka. Sehingga siswa dapat meningkatkan usaha dan tetap bertahan saat kesulitan muncul, siswa juga turut memikul tanggung jawab dalam membuat keputusan atas pembelajarannya. Dengan memberi siswa pilihan menciptakan kesempatan siswa menyesuaikan tingkat tantangan yang ditawarkan. Namun bila siswa membuat pilihan akademik kurang tepat maka ini adalah tanggung jawab guru yang harus memiliki SRL tinggi dengan memastikan siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk bekerja mandiri dan membuat keputusan yang tepat.

Evaluasi Diri. Dengan melibatkan siswa dalam menghasilkan kriteria evaluasi dan mengevaluasi hasil kerjanya sendiri akan mengurangi kecemasan pada siswa. Selain itu siswa juga menikmati dan benar-benar mencari tugas-tugas yang menantang karena biaya partisipasinya yang rendah.

Kolaborasi. Cara efektif dalam mendukung SRL adalah penggunaan yang mencerminkan iklim komunitas dan pengatasan masalah bersama. Guru dan siswa melakukan ko-regulasi pembelajaran satu sama lain, menawarkan dukungan, baik dengan bekerja sendiri, berpasangan, atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Guru di awal tahun ajaran baru mengajarkan berbagai rutinitas dan menetapkan norma-norma partisipasi, misalnya bagaimana cara memberikan umpan balik konstruktif dan bagaimana cara menginterprestasi dan merespons usul teman.

Pandangan Social Cognitive mengenai Reinforcement dan Punishment
Menurut Bandura (dalam Santrock, 2010), reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi (ini merupakan pokok teori belajar sosial). Reinforcement dan punishment mempengaruhi belajar dan perilaku dalam beberapa cara:
1.    Orang membangun ekspektasi mengenai konsekuensi berdasarkan bagaiamana respon sekarang mendapatkan reinforced atau punished
2.    Ekspektasi seseorang juga terpengaruhi pada observasinya pada konsekuensi perilaku yang dilakukan oleh orang lain
3.    Ekspekstasi mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi mempengaruhi bagaimana proses kognitif terhadap informasi baru
4.    Ekspektasi juga mempengaruhi pilihan seseorang mengenai bagaiamana berperilaku
5.    Tidak terjadinya konsekuensi yang diharapkan dapat memiliki efek reinforcing atau punishing pada dirinya.

KESIMPULAN
Teori sosial kognitif merupakan teori yang memberikan pemahaman perilaku yang melibatkan manusia, perilaku, dan lingkungan. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar. Faktor intrinsik maupun ekstrinsik dari dalam diri dalam teori ini di anggap sama pentingnya. Jadi teori ini berbeda dengan tidak hanya menekankan mengenai perilaku yang terjadi pada individu namun juga dengan mempertimbangkan faktor kognitif yang dipikirkan oleh seseorang pada waktu tertentu.
Social Learning Theory dari Bandura menekankan bahwa manusia dapat belajar baik secara langsung dari pengalaman yang dialami oleh individu itu sendiri maupun belajar dari pengalaman orang lain. Belajar dari orang lain oleh individu salah satunya dapat berupa pemodelan (modeling). Modeling sendiri dibagi menjadi empat fase, yaitu fase perhatian, fase pengingatan, reproduksi, dan fase motivasi.
Dalam teori sosial kognitif, self-efficacy memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan dalam proses belajar. Self-efficacy ini memberi pengaruh penting terhadap motivasi seseorang, karena menyangkut keyakinan seseorang tentang hal-hal yang akan dilakukannya. Yang dapat mempengaruhi self-efficacy antara lain mastery experience, physiological and emotional arousal, vicarious experience, serta persuasi sosial. Dalam proses belajar, self-efficacy dibutuhkan baik didalam siswa maupun dari gurunya sendiri. Yang selanjutnya akan memunculkan yang namanya Self-Regulated Learning, yaitu proses mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self-regulated learner memiliki keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajarannya lebih mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. 2000. Social psychology (9th edition). Massachusetts: Allyn & Bacon.

Canrinus, E.T., dkk. 2011. Self-efficacy, job satisfaction, motivation and commitment: exploring the relationships between indicators of teachers’ professional identity. European Journal of Psychological Education, 10, 1-18.

Chowdhury, M. S, & College, M. 2006. Human Behavior In The Context of Training: An Overview Of The Role of Learning Theories as Applied to Training and Development. Journal of Knowledge Management Practice. Vol. 7, No. 2.

Dignath, Charlotte, & Buttner, Gerhard. 2008. Components of fostering self regulated learning among students. A meta-analysis on intervention studies at primary and secondary school level. Metacognition Learning, 3: 231-264.

Friedman, Isaac A. 2003. Self-efficacy and burnout in teaching: the importance of interpersonal-relations efficacy. Social Psychology of Education 6: 191–215.

Ormrod, Jeanne E. 2006. Educational Psychology: Developing Learners 5th Edition. Ohio: Pearson.

Paulsen, M. B., & Feldman, K. A. 2005. The Conditional and Interaction Effects of Epistemological Beliefs On The Self-Regulated Learning of College Students: Motivational Strategies. Research in Higher Education, Vol. 46, No. 7: 731-768.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana

Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (Edisi Kedelapan). Jakarta: PT Indeks

Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology (Ninth Edition). Boston: Allyn and Bacon

Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition (Edisi Sepuluh). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Zimmerman, Barry J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary Educational Psychology. 25, 82–91.