Selasa, 22 Februari 2011

Prevensi Perilaku Delinkuen Berbasis Keluarga

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju remaja. Masa remaja adalah periode perkembangan dimana individu mendesak untuk mendapatkan otonomi dan berusaha untuk mengembangkan jati diri mereka. Pada masa remaja, terjadi berbagai perubahan dan kematangan fisik yang membawa konsekuensi pada perubahan dan kematangan emosi dan psikososial. Akibatnya adalah tidak sedikit remaja yang mengalami kesulitan dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. Tuntutan dan tekanan seringkali menimbulkan tindakan yang diluar kendali, yang mengarah pada perilaku delinkuen.
Arti kenakalan remaja menurut bimo walgito adalah setiap perbuatan dilakukan oleh remaja yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Thornburg (1981) melihat perilaku delinkuen pada remaja dari beberapa sudut pandang. Secara hukum, remaja dipandang delinkuen bila melakukan tindakan melanggar hukum dan pelanggaran tesebut menarik perhatian aparat pengadilan dan kepolisian. Berdasarkan sudut pandang psikologis, seseoarang dipandang delinkuen bila memiliki emosi atau masalah pribadi yang memunculkan perilaku antisosial.
Secara umum kenakalan remaja dapat dikategorikan menjadi empat kategori. Pertama, perilaku yang melanggar status, antara lain membolos sekolah, melawan orang tua, dan kabur dari rumah. Kedua, perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Ketiga perilaku yang menimbulkan korban materi, dan yang keempat perilaku yang menimbulkan korban fisik.
Banyak ahli telah meneliti tentang ciri-ciri perilaku menyimpang pada remaja. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996), ciri-ciri yang bisa diketahui dari perilaku menyimpang sebagai berikut.
a.       Suatu perbuatan disebut menyimpang bilamana perbuatan itu dinyatakan sebagai menyimpang.
b.      Penyimpangan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap si pelaku menyimpang.
c.       Ada perilaku menyimpang yang bisa diterima dan ada yang ditolak.
d.      Mayoritas remaja tidak sepenuhnya menaati peraturan sehingga ada bentuk penyimpangan yang relatif atau tersamar dan ada yang mutlak.
Masa remaja merupakan fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan karena dalam fase ini remaja sedang berada di antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang-orang dewasa. Dalam fase pencarian jati diri ini remaja menginginkan otonomi dan tidak ingin terikat dengan aturan yang mengekang. Remaja berusaha belajar dari lingkungan, dan mencoba berbagai pengalaman baru untuk memenuhi rasa ingin tahu. Namun tindakan dalam pencarian jati diri ini tidak selalu tepat, dan sampai akhirnya berujung pada perilaku kenakalan remaja.
Pemicu dari kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu; identitas, kontrol diri, proses keluarga, dan kelas sosial/komunitas. Pemicu dari perilaku delinkuen ini dapat berasal dari internal maupun eksternal.Keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat menjadi penyebab dalam terjadinya perilaku delinkuen. Keluarga adalah lingkungan awal dimana remaja berkembang. Keluarga sebagai kelompok yang paling dekat dengan remaja memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan remaja. Di dalam keluarga remaja dapat melakukan sosialisasi, memenuhi kebutuhan afeksi, dan belajar tentang perilaku. Beberapa faktor penyebab kenakalan remaja yang bersumber dari keluarga yaitu;
·         kekacauan dalam kehidupan keluarga (broken home).
·         kurangnya pengawasan dari orang tua.
·         kesalahan cara orang tua dalam mendidik.
·         tidak mendapat perlakuan yang sesuai dalam keluarga.
Sebagai contoh, dalam studi Lewin mengungkapkan bahwa 90 % anak-anak yang bersifat jujur berasal dari keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis, sedangkan 75 % anak-anak pembohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis atau disebut broken home.

Tindakan preventif perilaku delinkuen
Untuk mengurangi terjadinya perilaku penyimpangan atau kenakanalan remaja maka perlu diambil langkah-langkah preventif. Tindakan-tindakan prevensi terhadap perilaku delinkuen sangat perlu dilakukan dalam keluarga, antara lain yaitu;
1.         Pengawasan. Orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan remaja harus melakukan pengawasan, hal ini penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja. Namun pengawasan yang dilakukan tidak boleh terlalu protektif karena dapat membuat anak terkekang yang dapat mengakibatkan remaja menjadi stress dan dapat muncul pemberontakan.
2.         Menjaga keharmonisan keluarga. Kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari remaja. Pembentukan keluarga yang harmonis harus dilakukan sejak masa kanak-kanak, karena dalam psikoanalisis pengalaman masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kehidupannya saat remaja bahkan hingga dewasa. Dengan keadaan keluarga yang harmonis mengakibatkan anak-anak remaja lebih sering tinggal dirumah daripada keluyuran di luar rumah. Tindakan ini lebih mendekatkan hubungan orang tua dengan anaknya.
3.         Reward and Punishment. Keluarga harus dapat memberikan reward and punishment secara tepat terhadap setiap tindakan remaja. Pemberian reward yang tepat dapat menambah motivasi remaja dalam melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Selain itu punishment yang diberikan ketika melakukan tindakan yang tidak tepat juga harus bersifat konstruktif, sebaliknya jika punishment yang diberikan bersifat destruktif maka dapat memperburuk kondisi remaja dan memunculkan perilaku delinkuen.
4.         Figur teladan. Anggota keluarga harus dapat menempatkan diri sebagai contoh agar remaja dapat melakukan modeling terhadap perilaku anggota keluarga. Hal ini penting karena keluarga merupakan orang-orang yang paling dekat dan perilakunya paling sering dipelajari oleh remaja. Cara ini dapat ditempuh dengan sharing pengalaman, cerita dan informasi kepada anak-anak remaja. Remaja diharapkan dapat memilih figure yang tepat sebagai pegangan dalam berperilaku.
5.         Menhindari konflik. Menghindari hal-hal yang dapat memicu konflik antara remaja dan orang tua. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa konflik antara orang tua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki adalah hal yang paling membuat tertekan pada masa pubertas. Dan yang membahayakan adalah ketika pelarian dari konflik ini mengarah pada tindakan delinkuensi.
6.         Problem solving. Melatih keterampilan remaja dalam problem solving. masa remaja merupakan masa-masa sulit dimana banyak permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks dan belum pernah ditemui sebelumnya akan didapati. Sering kali remaja tidak mampu menghadapi masalah yang dihadapi dan timbul rasa frustrasi. Dalam hal ini kemampuan problem solving yang efektif dibutuhkan agar remaja tidak lari pada tindakan-tindakan yang menyimpang.
7.         Identity achievement. Keluarga harus mendorong dalam pencapaian identitas remaja. Salah satu pemicu dari perilaku delinkuen adalah kegagalan dalam mencapai identitas. Dalam penelitian yang menghubungkan antara perkembangan identitas dengan pola pengasuhan dari orang tua, remaja yang memiliki orang tua yang demokratis, yaitu yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan keluarga, akan lebih cepat mencapai identity achievement.
8.         Asertif dan terbuka. Remaja diajarkan untuk asertif dan terbuka, hal ini bertujuan agar remaja terbuka dan mengungkapkan keinginannya terhadap keluarga. Komunikasi dari kedua belah pihak sangat dibutuhkan agar orang tua dan remaja saling memahami dan dapat mengkomunikasikan keinginan masing-masing. Komunikasi yang baik merupakan salah satu kunci dari keharmonisan keluarga.
9.         Potensi dan Bakat Remaja. Memfasilitasi potensi dan bakat remaja pada kegiatan yang positif. Munculnya perilaku delinkuen seperti perkelahian, tawuran pelajar, dan vandalisme selain dipengaruhi karena kurangnya kontrol emosi dan pemahaman remaja terhadap tindakannya, juga disebabkan karena remaja tidak mempunyai tempat untuk menyalurkan aktivitas fisik dan emosi mereka.
10.     Memberikan Kebebasan. Memberikan kebebasan kepada remaja untuk mengemukakan pendapatnya dalam batas-batas kewajaran tertentu. Dengan demikian, anak-anak dapat berani untuk menentukan langkahnya, tanpa ada keraguan dan paksaan dari berbagai pihak, sehingga mereka dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar