Kamis, 26 Januari 2012

PERAN PENTING PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN MORALITAS BANGSA

Setiap tahapan kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pendidikan. Pendidikan bertujuan bukan hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral.
Moralitas masyarakat di negeri ini semakin hari semakin mengkhawatirkan. Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan moral tidak habis-habisnya terjadi di negeri ini, pelakunya mulai dari rakyat kecil hingga pejabat. Setiap harinya media massa tidak pernah tidak pernah kehabisan berita tentang perilaku buruk masyarakat. Berbagai kasus seperti korupsi, penipuan sampai pada tindakan asusila yang terjadi akhir-akhir ini banyak sekali melibatkan nama-nama pejabat tinggi di negeri ini. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak kaum intelektual di negeri ini yang memiliki moralitas yang buruk. Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan angka korupsi di Indonesia semakin meningkat. Selama tahun 2011 KPK menerima pengaduan masyarakat sebanyak 5.742 kasus dugaan korupsi (www.kpk.go.id). Pelaku korupsi ini tentunya bukan orang bodoh yang tidak bependidikan, dan dari beberapa kasus diketahui bahwa tindak korupsi ini dilakukan secara bersama-sama. Fakta-fakta tersebut semakin memperlihatkan bahwa krisis moralitas sdengan mendera negeri ini.
Sementara itu pemandangan yang sama juga terjadi di kalangan pelajar. Banyak perilaku yang menunjukkan terjadi kemerosotan moral pada diri mereka. Dari hilangnya sikap sopan santun, merebaknya seks bebas, tawuran pelajaran, dan juga tindak kriminalitasnya lainnya kini mulai sering dijumpai. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat 339 tawuran pelajar terjadi sepanjang 2011. Kasus tawuran pelajar ini meningkat 128 kasus jika dibandingkan tahun 2010 dan terdapat 82 pelajar tewas akibat kasus tawuran ini (www.detiknews.com). Guru sebagai pendidik dan role model bagi siswanya juga kurang mampu membina dan menjadi teladan. Beberapa waktu yang lalu tejadi kasus yang cukup mencengangkan, dimana ada pelapor kecurangan UN SD Dihujat Massa (www.mediaindonesia.com). Dalam kasus ini masyarakat justru masyarakat mentolerir kecurangan dan menghujat orang yang berusaha berbuat jujur. Masyarakat dan sekolah yang diharapkan menjadi pendidik moral, justru menjadi aktor kerusakan moral pelajar.
Dalam beberapa tahun terakhir ini perilaku amoral semakin mendapat toleransi dan dianggap sebagai kewajaran. Fenomena seks bebas yang dahulu di anggap hina kini mulai di anggap biasa di kalangan masyarakat, iklan layanan masyarakat bukan lagi “No Free Sex” tetapi sudah bergeser menjadi “Safe Sex”. Agama yang menjadi tonggak moralitas juga sudah mulai terabaikan dimana banyak orang yang tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama. Nilai-nilai budaya lokal juga semakin tergeser arus westernisasi yang tidak semuanya tepat diterapkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun kualitas pendidikan di Indonesia pun tidak semakin membaik. Kualitas pendidikan Indonesia tahun ini mengalami kemerosotan. Berdasarkan laporan The United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011 yang mengumumkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat ke-108 pada 2010 menjadi peringkat ke-124 pada tahun ini (republika.co.id).
Kemerosotan moral bangsa ini tidak boleh dibiarkan begitu saja dan menjadi masalah yang berlarut-larut. Perbaikan terhadap moralitas harus diupayakan melalui pengoptimalan fungsi dan peran pendidikan. Pendidikan moral akan membentuk generasi penerus bangsa sebagai pribadi yang berakhlak mulia, jujur dan bertanggung jawab. Generasi yang cerdas dan bermoral ini kelak diharapkan akan menjadi modal berharga untuk pembangunan bangsa.


Pengertian Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup (Gunarsa, 1981; Martini, 1995). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib hati nurani yang membimbing tingkah laku batin dalam hidup.
Moralitas merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah (Nashori, 1995). Banar atau salah tidak muncul begitu saja, tetapi diperlukan proses berpikir dan berbagai pertimbangan, ini disebut sebagai penalaran moral (moral reasoning) (Woolfolk, 2009). Penalaran moral kemudian memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai moral. Kesadaran moral merupakan sebuah proses penafsiran dimana individu mengakui bahwa masalah moral yang ada dalam situasi atau bahwa standar moral merupakan prinsip yang relevan dengan beberapa kondisi keadaan (Rest, 1986; dalam Reynolds, 2006). Ini artinya bahwa moralitas sesorang memang benar-benar muncul melalui pemahaman dari dalam diri.
Pada hakekatnya moral adalah ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas. Ini artinya bahwa sumber moralitas seseorang juga berasal dari lingkungan sosial. Pengaruh sosial dan hubungannya dengan perkembangan moral dapat berasal dari interaksi yang terjadi secara alami seperti melalui konflik dimana ada korban dan pelaku dalam konteks sosial (Oladipo, 2009). Menurut Bandura (dalam Slavin, 2008) perilaku individu tidak hanya refleks otomatis (Stimulus – Respon) tetapi juga reaksi yang timbul atas interaksi lingkungan dengan proses mental internal individu tersebut. Moralitas adalah bagian dari proses timbal balik yang rumit dalam setting sosial melalui interaksi saat mempertahankan identitas diri (Semtena 1999; dalam Oladipo, 2009). Killen dan Nucci (1995) percaya bahwa jenis interaksi dalam sebuah kelompok positif dapat mempengaruhi perkembangan moral (dalam Oladipo, 2009).
Moralitas tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang seiring dengan perjalanan hidupnya (Riyono, 2009). Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap (Kohlberg, 1958, 1976, 1986; dalam Santrock, 2002). Bandura (dalam Lestari, 2009) juga menjelaskan keterkaitan penalaran moral dengan perilaku melalui mekanisme psikologis penerjemahan standar moral ke dalam tindakan. Dalam pengembangan moral diri, individu mengadopsi standar benar dan salah yang menjadi alat kontrol dan pencegah bagi perilaku (Bandura, 2002).

Pendidikan dan Moralitas
Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia secera individual maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Sugihartono, dkk, 2007). Fungsi pendidikan diatur dalam pasar 2 UU No. 20 tahun 2003 pasal 3, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Siswoyo (2007) pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu yang mempengaruhi perkembangan fisiknya, daya jiwanya, sosialnya dan moralitasnya. Pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (ability) (George F. Kneller; dalam Siswoyo, 2007). Di negara kita tujuan dari pendidikan nasional sudah diidealisasikan dalam peraturan-peraturan Negara, sebagaimana termuat dalam UU-RI No.2 tahun 1989 pasal 4, “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Dari berbagai definisi mengenai pendidikan di atas, moralitas menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan secara popular disamakan dengan persekolahan (schooling) yang lazim dikenal dengan pendidikan formal, yang bergerak dari tingkat pertama sekolah dasar hingga mencapai tingkat akhir dan perguruan tinggi (Siswoyo, dkk, 2007). Secara khusus, pendidikan moral memang sudah terimplementasi dalam beberapa mata pelajaran yang ada disekolah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) kelompok mata pelajaran estetika; (e) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Pendidikan moral bukan semata-mata masalah pengetahuan, tetapi harus diajarkan melalui perilaku dan kebiasaan (Habit). Suasana sekolah dan aturan-aturan yang berlaku harus mampu menjadi supporting system bagi penanaman nilai-nilai moral dan membentuk perilaku yang baik. Melihat fakta yang ada di Indonesia, semangat untuk membangun moralitas pelajar ini masih sangat rendah. Institusi sekolah yang diharapkan menjadi penanggung jawab pengganti utama generasi penerus, secara nyata belum banyak mendidik penalaran moral. (Nashori, 1995). Hal ini juga sangat dipengaruhi karena tolok ukur pendidikan kita adalah prestasi akademik. Sistem pendidikan kita semakin hari justru lebih mengedepankan prestasi daripada moralitas atau budi pekerti (Riyono, 2009). Sebagai bangsa yang memegang prinsip-prinsip agama, seharusnya Indonesia lebih mudah dalam menanamkan moralitas melalui pendidikan agama. Moralitas yang universal tidak terlepas dari dari aspek spiritualitas. Penelititian menunjukkan bahwa tanpa spiritualitas, maka moralitas akan bersifat relatif dan situasional (Hui dan Graen, 1997, Ditimaso dan Hooijberg, 1996; dalam Riyono, 2009). Nilai-nilai budaya lokal yang syarat akan moralitas sudah mulai ditinggalkan demi mengejar tuntutan global. Adat timur yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat menjadi bekal dalam penanaman moralitas terhadap anak bangsa.

Pendidikan Karakter
Didasarkan pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak atau generasi muda di negeri ini, kemudian berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Untuk mewujudkan hal tesebut pendidikan harus dituntut harus mampu membentuk karakter siswa melalui pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter membantu siswa untuk mengetahui yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan yang baik (Ryan, 1993; dalam Sewell, et. al, 2003). Menurut Berkowitz, pendidikan karakter adalah usaha sekolah untuk meningkatkan kapasitas pemahaman siswa untuk kritis tentang alasan, motivasi, dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika. Menurut T. Ramli (dalam panduan pendidikan karakter, 2011) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Dalam karakter manusia terdapat tiga komponen. Yang pertama pengetahuan moral (moral knowing). Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui komponen ini individu dapat membayangkan konskuensi yang akan terjadi di kemudian hari dari keputusan yang di ambil dan siap bagaimana menghadapi konskuensi tersebut. Kedua, perasaan moral (moral affect), yang mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan, komitmen, hati nurani, dan empati yang semuanya merupakan sisi afektif dari moral pada diri individu, perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan moral dan tindakan moral. Ketiga, tindakan moral (moral action) yang memiliki tiga komponen yaitu kehendak, kompetensi, dan kebiasaan.
Koehler dan Royer (dalam lestari, 2009) merinci ciri-ciri karakter adalah sebagai berikut; (1) Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman dari luar, (2) Secara konsisten mampu mengelola emosi, (3) Memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan menerima tanpa pamrih, (4) Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain yang melihat, (5) Memiliki kekuatan dari dalam unuk mengupayakan keharmonisan dengan lingkungan sekitar, (6) Mengembangkan standar pribadi yang tepat dan berperilaku yang konsisten dengan standar tersebut.
Seseorang yang berkarakter akan lebih memiliki kekuatan dalam menghadapi tantangan dan tidak mudah terpengaruh terhadap perilaku negatif. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan karakter berkorelasi negatif dengan problem perilaku dan emosi pada remaja seperti depresi, delinkuensi dan kekerasan (Benson, dkk, dalam Lestari, 2009) dan berkorelasi positif dengan luaran yang diharapkan seperti kesuksesan di sekolah, perilaku prososial, dan kompetensi (Scales, dkk dalam Lestari, 2009).
Masalah Sistem Pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Secara umum sistem pendidikan yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Negara lain yang menggunakan jenjang pendidikan seperti SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi (PT). namun dalam beberapa hal dan implementasinya sangat berbeda. Sistem pendidikan yang ada di Indonesia memang secara tidak langsung memaksa untuk fokus pada ranah kognitif saja. Ukuran keberhasilan pendidikan hanya di ukur dari nilai akademik sehingga sekolah hanya fokus pada pengembangan mutu akademik.
Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia juga menuai banyak masalah. Ujian Nasional (UN) yang kini digunakan sebagai syarat kelulusan sangat tidak relevan untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Tuntutan ini memaksa sekolah dan peserta didik untuk fokus pada pengembangan kognitif, sedangkan pendidikan moral terabaikan karena dinilai tidak berkaitan dengan kelulusan. Tuntutan untuk lulus membuat siswa melakukan berbagai hal untuk lulus termasuk berbuat curang. Sistem ini membuat siswa tidak dapat belajar dari kegagalan, karena tidak ada kesempatan untuk mencoba kembali. Konskuensi dari kegagalan lulus UN ini juga sangat besar. Kegagalan ini bisa menjadi stressor yang bisa berujung pada perbuatan bunuh diri.
Beberapa sistem dan implementasi pendidikan di Indonesia sudah melenceng dari tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri. Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tetapi beberapa aspek di atas kini mulai terlupakan dan terkikis perkembangan zaman.


Penutup
Pendidikan merupakan upaya perbaikan kualitas manusia yang menyangkut Intelektualitas dan moralitas. Pendidikan moral bukanlah pengetahuan tetapi menyangkut nilai-nilai moral yang jika itu berhasil diinternalisasikan dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan menjadi norma atau acuan hidup yang menuntun sikap dan tindakan seseorang. Moralitas ini sangat penting karena memiliki pengaruh dalam setiap hal yang dilakukan manusia.
Intelektualitas dan moralitas harus saling melengkapi. Kecerdasan yang tidak dibarengi moralitas dapat membuat seseorang memanfaatkan kecerdasannya pada tempat yang salah. Tetapi moralitas tanpa adanya intelektualitas juga tidak berarti, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Pendidikan yang hanya mengedepankan intelektualitas saja tidak akan membawa perubahan yang berarti. Namun dengan pendidikan moral, karena didalam pendidikan moral terdapat nilai, norma dan etika yang berpengaruh dalam pembentukan jati diri dan lingkungan sosial seseorang.
Sistem pendidikan yang ada saat ini harus mampu untuk mencerdaskan dan memberikan bimbingan terhadap perilaku manusia. Jadi pendidikan tidak hanya mengasah otak, tetapi juga mengasah hati nurani. Hal ini tidak lain bertujuan untuk membentuk generasi yang cerdas dan bermoral dan nantinya akan muncul pemimpin-pemimpin yang ideal dan mampu mengelola bangsa Indonesia.

Suporter Sepakbola dan Agresivitas Masyarakat



Sepakbola sudah menjadi olahraga yang sangat digemari dan dicintai bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan dunia. Hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki tim sepakbola baik yang professional maupun tidak. Klub-klub sepakbola ini sudah menjadi Identitas bagi masyarakat suatu daerah dan menjadi kebanggaan bagi mereka.
Berbicara mengenai sepakbola berarti berbicara mengenai banyak orang yang terlibat di dalamnya, termasuk suporter sepakbola itu sendiri. Suporter tidak bisa dilepaskan dari sepakbola, dari kompetisi kecil sampai pada kompetisi tingkat dunia dan dari level klub sampai dengan tim nasional peran suporter selalu diharapkan dapat membuat pertandingan semakin meriah. Suporter sendiri merupakan bentuk eksistensi dari masyarakat, yang mempunyai sebuah bentuk kebanggaan serta kencintaan terhadap tim sepakbola. Hal ini yang yang membuat fanatisme suporter timbul. Mereka akan sangat senang jika tim mereka menang namun bisa sangat marah jika yang terjadi sebaliknya. Dalam sebah kompetisi besar, puluhan ribu suporter dapat hadir dalam sebuah stadion untuk mendukung tim kesayangannya. Salah satu contohnya adalah dalam final piala AFF, laga Indonesia versus Malaysia di stadion SUGBK disaksikan langsung oleh penonton yang mencapai 70.000 orang. Contoh lainnya adalah penonton laga kandang arema mencapai rata-rata sebanyak 21.724 penonton tiap pertandingan (http://aremakita.blogspot.com/, 2011).
Setiap tim selalu memiliki kelompok suporter sendiri-sendiri. Persebaya memiliki bonek, arema memiliki arema, persija memiliki the jak, bandung memiliki Viking, dan masih banyak tim-tim lain beserta kelompok suporternya. Tiap kelompok suporter ini membentuk sebuah ikatan yang terorganisasi dimana ribuan orang suporter mengambil bagian didalamnya. Tujuan dari suporter ini hanya satu, yaitu mendukung tim kesayangan mereka. Untuk menunjukkan loyalitas terhadap tim yang didukungnya berbagai hal dilakukan mereka, dari membeli atribut-atribut yang berhubungan dengan timnya sampai mendampingi kemanapun timnya berlaga tandang. Mereka berusaha selalu mendukung dan menjaga kehormatan timnya dengan segala cara.
Massa yang besar dan kecintaan terhadap tim ini menjadi sebuah kekuatan bagi sebuah klub sepakbola. Ekspresi kecintaan suporter ini tidak jarang berujung pada tindakan-tindakan yang bisa dikatakan negatif seperti mengeluarkan kata-kata kasar, dan tawuran missal antar suporter. Kekerasan suporter ini sudah menjadi barang biasa dalam sepakbola di Indonesia, walaupun peraturan internasional mengenai administrasi penyelenggaraan sepakbola yang aman dan nyaman telah dirancang dan disahkan oleh FIFA sebagai induk sepakbola se-dunia, namun kenyataannya kebrutalan dan kekerasan sulit dipisahkan dari sepakbola. Salah satu contoh kekerasan yang terjadi pada awal tahun 2011 dimana Ratusan suporter Persita Tangerang, Persikota Tangerang dan Persebaya 1927, terlibat tawuran dengan warga Buaran, Kota Tangerang, yang dikenal sebagai suporter Persija Jakarta (http://metrotvnews.com/, 2011). Sementara itu korban jiwa juga tidak luput dari aksi suporter ini, seperti yang dialami bonekmania dalam perjalanannya ke bandung untuk menyaksikan laga Persebaya dan persib dimana satu bonek tewas terjatuh dari KA Pasundan, seorang bonek yang belum diketahui identitasnya juga terjatuh tersangkut kabel di Karangnyar, sementara 2 bonek lainnya jatuh di Solo karena dilempari para suporter Persis Solo (Pasoepati) (http://surabaya.detik.com, 2011). Hampir dalam pertandingan-pertandingan sepakbola kekerasan ini selalu terjadi, dari konflik antar Individu sampai antar suporter yang melibatkan massa yang besar. Bahkan dalam beberapa kelompok suporter, permusuhan ini terjadi secara turun temurun dan tidak terjadi secara insidental, sebagai contoh permusuhan antara bonek dan arema, kedua kelompok suporter ini sudah bertikai sejak tahun 1980an dan berlangsung sampai sekarang. Konflik tidak hanya terjadi ketika kedua kelompok suporter bertemu di dalam stadion, tetapi juga diluar itu juga seperti dijalanan ketika salah satu kelompok suporter melintas didaerahnya suporter lawan seperti yang dialami bonek. Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan suporter ini sangat nyata. Berbagai kerusakan fasilitas dan keamanan warga menjadi taruhannya. Warga yang tidak terlibat dalam konflik antar suporter ini merupakan korban utamanya, tidak jarang mereka menjadi korban dari aksi kekerasan ini.
Aksi-aksi suporter yang semacam ini memang sulit untuk dihilangkan. Tetapi hal ini bukan tidak mungkin, bila melihat Negara lain, mereka bisa duduk berdampingan antar suporter tanpa adanya kekerasan. Memang untuk mengatur massa ribuan orang dalam suatu tempat adalah hal yang sulit. Kondisi-kondisi dalam sepakbola memang rentan menyulut agresivitas. Agresi merupakan perilaku yang diarahkan ke tujuan menyakiti makhluk hidup lain (Baron, 1998). Sedikit provokasi yang muncul bisa sangat mudah menyulut agresivitas orang-orang yang ada disekitarnya. Provokasi merupakan tindakan orang lain yang cenderung memicu agresi pada penerimanya, seringkali karena tindakan itu dipersepsi dilatarbelakangi oleh intensi yang mengandung kebencian (Baron, 1998). Provokasi ini dapat kita lihat dimana-mana, mulai dari nyanyian yang bernada merendahkan kelompok suporter lain sampai pada coretan-coretan pada fasilitas umum. Penonton atau suporter yang dalam keadaan deindividuasi, yaitu situasi yang ditandai dengan hilangnya kesadaran diri (self awareness) dan rasa tanggung jawab, akan mengakibatkan hilangnya kendali, maka penonton akan memperlihatkan responnya terhadap tekanan yang meningkat, oleh karena itu penonton akan melakukan tindakan yang destruktif.
Fanatisme suporter terhadap tim sepakbola mereka menjadi salah satu faktor seringnya terjadi konflik antar suporter ini. Fanatisme yang berlebihan dari suporter dalam mendukung kesebelasan yang disayanginya kandangkala berubah menjadi kerusuhan (anarkisme) dengan merusak berbagai fasilitas stadion maupun fasilitas umum di sekitar stadion. Setiap tim dan suporter pasti mempunyai impian untuk berjaya dan mampu menjadi jawara. Namun tidak selamanya jalan itu mulus. Kekalahan tim sepakbola dan buruknya permainan tim menjadi faktor yang membuat mereka kesal dan frustrasi. Menurut berkowitz (1995), frustrasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena kemunculan kemarahan yang disebabkan oleh frustasi itu sendiri. Apakah individu bertindak secara agresif maupun tidak tergantung dari kehadiran isyarat agresif (agressive cue) yang memicu kejadian aktual agresi tersebut. Begitupula tim sepakbola, tanpa adanya suporter serasa sayur tanpa garam. dua peran antara suporter dan tim ini seharusnya saling menguntungkan. Tim membutuhkan semangat, dukungan  dan motivasi sedangkan suporter butuh kemenangan. Dalam mensikapi hal-hal seperti ini memang sangat diperlukan kedewasaan dari suporter untuk menciptakan kondisi yang aman dan nyaman. Tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan suporter ini tidak hanya merugikan dirinya dan orang lain, tetapi terhadap tim yang dicintainya juga karena akan berbuah sanksi.
Supporter memang sudah menjadi bagian dari sepakbola, dan hal ini sudah seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jumlah supporter yang sangat banyak harus dapat dikelola agar dapat menguntungkan klub sepakbola itu sendiri. Ketika ribuan orang berkumpul dalam satu tempat potensi keributan itu selalu ada. Maka dari itu esensi sepakbola harus dikembalikan sebagai sebuah permainan dan menjunjung tinggi sportivitas. Aturan-aturan fair play harus benar-benar ditegakkan agar tercipta keharmonisan di dalam maupun luar lapangan. 


Daftar Pustaka
Baron, R.A. & Byrne, D.E. 1998. Social psychology: understanding human interaction. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Berkowitz, Leonard. 1995. Agresi I: sebab dan akibatnya. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.



Internet: Antara Arus Perkembangan Teknologi dan Kemerosotan Moral


Perkembangan tekonologi informasi dalam sepuluh tahun terakhir semakin pesat. Salah satu teknologi informasi yang tumbuh sangat cepat adalah adalah internet. Internet merupakan kepanjangan dari Interconnected network. Jika diterjemahkan secara langsung berarti jaringan yang saling terhubung. Jika didefinisikan secara lengkap, internet adalah kumpulan komputer yang terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah jaringan. Semua kalangan masyarakat sudah tidak asing dengan internet, tidak terbatas status sosial maupun usia. Menurut data dari Kementerian Kominfo pengguna internet kita saat ini jumlahnya 45 juta. Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an, saat itu internet hanya digunakan pada golongan-golongan tertentu khususnya masyarakat menengah keatas dan akademisi. Penggunaan internet pun cenderung terbatas pada urusan-urusan yang dinilai penting saja. Namun saat ini kenyaatannya sangat jauh berbeda, semua golongan masyarakat sudah mulai menggunakan internet untuk berbagai kebutuhan, dari sekedar media berkomunikasi sampai pada urusan penting. Kemudahan dalam mengakses internet merupakan salah satu penyebab meluasnya peggunaan internet, karena saat ini sangat banyak provider internet yang menyediakan internet murah dan alat untuk mengakses internet yang kini tidak hanya terbatas pada komputer saja.
Internet memberikan informasi yang tidak terbatas. Berbagai informasi dapat diperoleh hanya dengan mengetik kata kunci dari informasi yang ingin dicari. Ketidak terbatasan informasi ini memang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang menggunakannya dan haus akan informasi, dan tidak jarang banyak orang yang kecanduan dengan teknologi informasi yang satu ini. Informasi yang tidak terbatas ini juga tidak lepas dari efek negatif, kurangnya system penyaringan informasi membuat banyak informasi bisa diakses oleh orang-orang yang tidak seharusnya memperoleh informasi tersebut. Salah satu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini berkaitan dengan penggunaan internet adalah konten porno. Budaya, norma social mapaun agama yang ada di Indonesia tidak adanya yang membenarkan tentang pornografi, namun doktrin pornografi ini sangat sulit dicegah dimasa sekarang ini karena akses untuk mendapatkan hal tersebut dimana ditemukan dimana-mana tanpa adanya pengawasan. Selain pornografi, konten-konten lain seperti kekerasan dan perjudian juga berpotensi merusak moralitas pengguna internet. Selain itu bentuk-bentuk penipuan juga marak dilakukan melalui internet. Situs-situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, yahoo dan berbagai aplikasi chating yang tersedia memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pergaulan yang tidak terbatas dan tidak jarang mereka terjerumus dalam pergaulan yang menyimpang. Sementara itu meskipun banyak manfaat dalam pengembangan pendidikan, internet juga memiliki dampak negatif seperti meningkatkan terjadinya plagiasi pada penulisan karya-karya ilmiah.
Semakin lama pertumbuhan penggunaan internet semakin meningkat. Pemerintah dan produsen provider internet pun berlomba-lomba untuk memperluas jaringan internet ini hingga ke pelosok-pelosok desa. Arus informasi negatif yang akan merusak moral penggunanya juga semakin tidak terbendung bila tidak segera diantisipasi dengan baik. Tetapi hal ini harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan tidak hanya memikirkan keuntungan dari sebagian pihak saja.