Selasa, 22 Februari 2011

ORANG YANG BERFUNGSI SEPENUHNYA (CARL ROGERS)

PENDEKETAN ROGERS TERHADAP KEPRIBADIAN
Menurut Rogers, manusia yang sadar dan rasional, tidak dikontrol oleh peristiwa pada masa kanak-kanak. Masa sekarang dan bagaimana kita memandang bagi kepribadian yangs sehat adalah jauh lebih penting daripada masa lampau. Akan tetapi Rogers mengemukakan bahwa pengalaman-pengelamann masa lampau dapat mempengaruhi cara bagaimana kita memandang masa sekarang yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat kesehatan psikologis kita.  Jadi, pegalaman masa kanak-kanak adalah penting, tetapi fokus Rogers tetap pada apa yang terjadi dengan kita pada masa sekarang, bukan pada apa yang terjadi pada waktu itu.

MOTIVASI ORANG YANG SEHAT: AKTUALISASI
Setiap segi pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terlepas dari kecenderungan aktualisasi. Pada tingkat yang lebih rendah, kebutuhan aktualisasi ini berkenaan dengan kebutuhan fisiologis dasar. Kecenderungan aktualisasi ini memungkinkan organisme hidup terus dengan membantu dan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dasar. Akan tetapi aktualisasi berbuat jauh lebih banyak daripada mempertahankan organisme, aktualisasi juga memudahkan dan meningkatkan pematangan pertumbuhan. Pematangan yang penuh itu tidak dicapai secara otomatis, fakta bahwa “blue print” bagi proses pematangan terkandung dalam struktur genetsi individu.
Rogers berpendapat bahwa kecenderungan untuk aktualisasi sebagai suatu tenaga pendorong adalah jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan serta setiap dorongan yang ikut menghentikan usaha untuk berkembang. Kecenderungan untuk tingkat fisiologis memang tidak dapat dikekang, kecenderungan itu mendorong individu ke depan dari salah satu tingkat pematangan ke tingkat pematangan berikutnya yang memaksanya untuk menyesuaikan diri dan tumbuh.
Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologis yang unik. Rogers percaya bahwa manusia memiliki dorongan yang dibawa sejak lahir dan menciptakan dan bahwa hasil ciptaan sangat penting adalah diri sendiri.
Ada satu perbedaan penting antar kecenderungan umum dan kecenderungan khusus ke arah aktualisasi diri. Pematangan dan perkembangan seluruh organism sama sekali tidak dipengaruhi oleh belajar dan pengelaman. Akan tetapi aktualisasi diri ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial dan bukan kekuatan-kekuatan biologis. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh belajar, khususnya belajar pada masa kanak-kanak.

PERKEMBANGAN DIRI
Pada masa kecil, anak-anak sudah mulai membedakan atau memisahkan salah satu segi pengalamannya dari semua yang lain-lainnya. Anak mulai dapat mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang menjadi milik atau bagian dari dirinya dan semua benda lain yang dilihat, didengar, diraba, dan diciumnya ketika dia mulai membentuk gambaran tentang siapa dia. Dengan kata lain anak itu mengembangkan self concept.
Sebagai bagian dari self concept, anak itu juga menggambarkan dia akan menjadi siapa atau mungkin ingin menjadi siapa. Gambaran-gambaran itu dibentuk sebagai suatu akibat dari bertambah kompleksnya interaksi-interaksi dengan orang-orang lain.
Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak tergantung pada cinta yang diterima anak itu pada masa kecil. Pada waktu diri itu mulai berkembang, anak juga belajar membutuhkan cinta. Rogers menyebut kebutuhan ini “penghargaan positif” (positive regard). Positive regard adalah suatu kebutuhan yang memaksa dan merembes, dimiliki setiap manusia, dan setiap anak terdorong untuk mencari positive regard. Namun tidak semua anak menemukan kepuasan yang cukup dari kebutuhan ini. Apabila positive regard ini mampu dipuaskan dengan baik, maka anak akan tumbuh menjadi kepribadian yang sehat.
Self concept yang berkembang dari anak ini sangat dipengaruhi oleh ibu. Apabila ibu tidak memberikan positive regard seperti mencela dan menolak tingkah laku anaknya, maka anak itu akan mengamati suatu celaan sebagai suatu celaan yang luas dan tersebar dalam setiap segi dari adanya. Anak menjadi peka terhadap setiap bentuk penolakan dan akan bertingkah laku manurut reaksi yang diharapkan akan diberikan.
Anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang-orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Bila anak merasa kecewa, maka kebutuhan akan positive regard semakin kuat, makin lama makin mengerahkan energy dan pikiran. Anak harus bekerja keras untuk mendapatkan positive regard dengan mengorbankan aktualisasi dirinya. Anak dalam situasi ini mengembangkan conditional positive regard. Kasih sayang yang diterima anak adalah syarat terhadap tingkah lakunya yang  baik.
Bila conditional positive regard ini berkembang dalam diri anak, ini berarti anak itu merasa suatu perasaan harga diri hanya dalam syarat-syarat tertentu. Anak harus menghindari tingkah laku atau pikiran dalam cara-cara yang menyebabkan celaan atau penolakan oleh standar-standar yang telah diambil anak itu dari ibu. Sebagai akibat dari perilaku defensif ini, kebebasan individu terbatas, kodrat atau dirinya yang sejati tidak dapat diungkapkan sepenuhnnya. Karena individu-individu ini tidak dapat berinteraksi sepenuhnya dan terbuka dengan lingkungan mereka, maka mereka akan mengembangkan apa yang disebut Rogers “ketidakharmonisan” (incongruence) antara konsep diri dan kenyataan yang mengitari mereka.  Dengan kata lain mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian yang sehat.
Agar dapat tumbuh kepribadian yang sehat maka harus ada “penghargaan positif tanpa syarat” (unconditional positive regard) pada masa kecil. Hal ini berkembang apabila ibu memberikan cinta dan kasih saying tanpa memperhatikan bagaimana anak bertingkah laku. Anak-anak yang tumbuh dengan perasaan unconditional positive regard tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan. Mereka merasa diri mereka berharga dalam semua syarat, sehingga ada keharmonisan antara diri dengan persepsi terhadap kenyataan. Untuk orang demikian tidak ada pengalaman yang mengancam dan dapat mengambil bagian dalam kehidupan dengan bebas dan sepenuhnya, sehingga dapat mengaktualisasikan sikap diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya.  Dan stelah proses aktualisasi diri ini berlangsung, maka dapat maju ke tujuan terakhir yaitu menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya.

ORANG YANG BERFUNGSI SEPENUHNYA
Aktualisasi diri berlangsung terus, bukan merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis. Tujuannya adalah orientasi ke masa depan, menarik individu kedepan, yang selanjutnya mendiferensiasikan dan mengembangkan segala segi dari diri.
Aktualisasi diri merupakan proses yang sukar dan kadang-kadang menyakitkan. Aktualisasi diri merupakan suatu ujian, rintangan, dan pecutan terus-menerus terhadap kemampuan seseorang. Rogers tidak menggambarkan bahwa orang-orang yang megaktualisasikan diri itu terus menerus atau juga hampir setiap saat bahagia atau puas, meskipun mereka benar-benar mengalami perasaan-perasaan ini.kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menjalani kehidupannya yang kaya, menantang dan berarti, tetapi mereka tidak perlu tertawa terus-menerus. Orang mengaktualisasikan diri benar-benar menjadi diri mereka sendiri.
Rogers memberikan lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya.
1.      Keterbukaan pada pengalaman
            Tanpa adanya syarat-syarat penghargaan, seseorang bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap. Keterbukaan terhadap berbagai pengalaman ini merupakan lawan dari sikap defensif. Orang yang demikian mengetahui segala sesuatu tentang kodratnya, dan tidak ada segi kepribadian yang tertutup. Kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya mau menerima pengalaman-pengalaman dari kehidupannya, namun juga menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru. Orang yang berfungsi sepenuhnya mengalami emosi yang lebih kuat daripada orang yang defensif.
2.      Kehidupan eksistensial
            Orang yang berfungsi sepenuhnya merasakan setiap pengalamannya segar dan baru, seperti sebelumnya belum pernah ada dalam cara yang persis sama. Karena selalu terbuka dengan pengalaman baru, maka diri atau kepribadian terus menerus dipengaruhi atau disegarkan oleh setiap pengalaman. Orang yang berfungsi sepenuhnya yang tidak memiliki diri yang berprasangka tidak harus mengontrol atau memanipulasi pengalaman-pengalaman, sehingga dengan bebas dapat berpartisipasi di dalamnya.
Rogers percaya bahwa kualitas deri kehidupan eksistensial ini merupakan segi yang sangat esensial dari kepribadian yang sehat. Kepribadian terbuka terhadap segala sesuatu yang terjadi pada momen itu dan dia menemukan dalam setiap pegalaman suatu struktur yang dapat berubah dengan mudah sebagai respons atas pengalaman momen yang berikutnya.
3.      Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
            Bertingkah laku menurut apa yang dirasa benar merupakan pedoman yang sangat dapat diandalkan daripada factor-faktor rasional atau inetelektual. Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat bertindak menurut impuls-impuls yang timbul seketika dan intuitif. Orang yang terbuka sepenuhnya dengan pengalaman, memiliki jalan masuk untuk seluruh informasi yang ada dalam suatu situasi membuat keputusan. Karena terbuka dengan semua pengalaman serta menghidupkan pengalaman-pengalaman itu sepenuhnya, maka individu yang sehat dapat membiarkan seluruh organism mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi. Semua factor yang relevan diperhitungkan dan dipertimbangkan serta dicapai keputusan yang akan memuaskan semua segi situasi dengan sangat baik.
4.      Perasaan bebas
            Rogers percaya bahwa semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin juga ia mengalami kebebasan untum memilih dan bertindak. Orang yang sehat dapat memilih tanpa adanya tekanan dan juga paksaan dari orang lain. Orang yang berfungsi sepenuhnya memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupannya dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan atau peristiwa-peristwa pada masa lampau. Sebaliknya orang yang defensif tidak memiliki perasaan bebas, mereka memutuskan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu, namun tidak dapat mewujudkan pilihan bebas itu ke dalam tingkah laku yang actual.
5.      Kreativitas
            Orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Mereka bertingkah laku spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atau stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam sekitar mereka. Orang-orang yang kreatif dan spontan tidak terkenal karena konformitas atau penyesuaian diri yang pasif terhadap tekanan-tekanan sosial dan cultural. Mereka tidak terlalu meghiraukan apakah tingkah laku mereka akan dterima dengan baik oleh orang-orang lain. Akan tetapi mereka dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan dari situasi khusus apabila konformitas yang demikian itu akan membantu memuaskan kebutuhan mereka dan memungkinkan mereka mengembangkan diri mereka sampai ke tingkat yang paling penuh. Sebaliknya orang yang defensif kurang merasa bebas dan tertutup dengan banyak pengalaman, dan yang hidup dalam garis-garis pedoman yang telah dikodratkan adalah tidak kretaif dan tidak spontan. Rogers percaya bahwa orang-orang yang ebrfungsi sepenuhnya lebih mampu menyesuaikan diri dan bertahan terhadap perubahan-perubahan yang drastic dalam berbagai kondisi lingkungan yang dialami.

Prevensi Perilaku Delinkuen Berbasis Keluarga

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju remaja. Masa remaja adalah periode perkembangan dimana individu mendesak untuk mendapatkan otonomi dan berusaha untuk mengembangkan jati diri mereka. Pada masa remaja, terjadi berbagai perubahan dan kematangan fisik yang membawa konsekuensi pada perubahan dan kematangan emosi dan psikososial. Akibatnya adalah tidak sedikit remaja yang mengalami kesulitan dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. Tuntutan dan tekanan seringkali menimbulkan tindakan yang diluar kendali, yang mengarah pada perilaku delinkuen.
Arti kenakalan remaja menurut bimo walgito adalah setiap perbuatan dilakukan oleh remaja yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Thornburg (1981) melihat perilaku delinkuen pada remaja dari beberapa sudut pandang. Secara hukum, remaja dipandang delinkuen bila melakukan tindakan melanggar hukum dan pelanggaran tesebut menarik perhatian aparat pengadilan dan kepolisian. Berdasarkan sudut pandang psikologis, seseoarang dipandang delinkuen bila memiliki emosi atau masalah pribadi yang memunculkan perilaku antisosial.
Secara umum kenakalan remaja dapat dikategorikan menjadi empat kategori. Pertama, perilaku yang melanggar status, antara lain membolos sekolah, melawan orang tua, dan kabur dari rumah. Kedua, perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Ketiga perilaku yang menimbulkan korban materi, dan yang keempat perilaku yang menimbulkan korban fisik.
Banyak ahli telah meneliti tentang ciri-ciri perilaku menyimpang pada remaja. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996), ciri-ciri yang bisa diketahui dari perilaku menyimpang sebagai berikut.
a.       Suatu perbuatan disebut menyimpang bilamana perbuatan itu dinyatakan sebagai menyimpang.
b.      Penyimpangan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap si pelaku menyimpang.
c.       Ada perilaku menyimpang yang bisa diterima dan ada yang ditolak.
d.      Mayoritas remaja tidak sepenuhnya menaati peraturan sehingga ada bentuk penyimpangan yang relatif atau tersamar dan ada yang mutlak.
Masa remaja merupakan fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan karena dalam fase ini remaja sedang berada di antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang-orang dewasa. Dalam fase pencarian jati diri ini remaja menginginkan otonomi dan tidak ingin terikat dengan aturan yang mengekang. Remaja berusaha belajar dari lingkungan, dan mencoba berbagai pengalaman baru untuk memenuhi rasa ingin tahu. Namun tindakan dalam pencarian jati diri ini tidak selalu tepat, dan sampai akhirnya berujung pada perilaku kenakalan remaja.
Pemicu dari kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu; identitas, kontrol diri, proses keluarga, dan kelas sosial/komunitas. Pemicu dari perilaku delinkuen ini dapat berasal dari internal maupun eksternal.Keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat menjadi penyebab dalam terjadinya perilaku delinkuen. Keluarga adalah lingkungan awal dimana remaja berkembang. Keluarga sebagai kelompok yang paling dekat dengan remaja memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan remaja. Di dalam keluarga remaja dapat melakukan sosialisasi, memenuhi kebutuhan afeksi, dan belajar tentang perilaku. Beberapa faktor penyebab kenakalan remaja yang bersumber dari keluarga yaitu;
·         kekacauan dalam kehidupan keluarga (broken home).
·         kurangnya pengawasan dari orang tua.
·         kesalahan cara orang tua dalam mendidik.
·         tidak mendapat perlakuan yang sesuai dalam keluarga.
Sebagai contoh, dalam studi Lewin mengungkapkan bahwa 90 % anak-anak yang bersifat jujur berasal dari keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis, sedangkan 75 % anak-anak pembohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis atau disebut broken home.

Tindakan preventif perilaku delinkuen
Untuk mengurangi terjadinya perilaku penyimpangan atau kenakanalan remaja maka perlu diambil langkah-langkah preventif. Tindakan-tindakan prevensi terhadap perilaku delinkuen sangat perlu dilakukan dalam keluarga, antara lain yaitu;
1.         Pengawasan. Orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan remaja harus melakukan pengawasan, hal ini penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja. Namun pengawasan yang dilakukan tidak boleh terlalu protektif karena dapat membuat anak terkekang yang dapat mengakibatkan remaja menjadi stress dan dapat muncul pemberontakan.
2.         Menjaga keharmonisan keluarga. Kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari remaja. Pembentukan keluarga yang harmonis harus dilakukan sejak masa kanak-kanak, karena dalam psikoanalisis pengalaman masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kehidupannya saat remaja bahkan hingga dewasa. Dengan keadaan keluarga yang harmonis mengakibatkan anak-anak remaja lebih sering tinggal dirumah daripada keluyuran di luar rumah. Tindakan ini lebih mendekatkan hubungan orang tua dengan anaknya.
3.         Reward and Punishment. Keluarga harus dapat memberikan reward and punishment secara tepat terhadap setiap tindakan remaja. Pemberian reward yang tepat dapat menambah motivasi remaja dalam melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Selain itu punishment yang diberikan ketika melakukan tindakan yang tidak tepat juga harus bersifat konstruktif, sebaliknya jika punishment yang diberikan bersifat destruktif maka dapat memperburuk kondisi remaja dan memunculkan perilaku delinkuen.
4.         Figur teladan. Anggota keluarga harus dapat menempatkan diri sebagai contoh agar remaja dapat melakukan modeling terhadap perilaku anggota keluarga. Hal ini penting karena keluarga merupakan orang-orang yang paling dekat dan perilakunya paling sering dipelajari oleh remaja. Cara ini dapat ditempuh dengan sharing pengalaman, cerita dan informasi kepada anak-anak remaja. Remaja diharapkan dapat memilih figure yang tepat sebagai pegangan dalam berperilaku.
5.         Menhindari konflik. Menghindari hal-hal yang dapat memicu konflik antara remaja dan orang tua. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa konflik antara orang tua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki adalah hal yang paling membuat tertekan pada masa pubertas. Dan yang membahayakan adalah ketika pelarian dari konflik ini mengarah pada tindakan delinkuensi.
6.         Problem solving. Melatih keterampilan remaja dalam problem solving. masa remaja merupakan masa-masa sulit dimana banyak permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks dan belum pernah ditemui sebelumnya akan didapati. Sering kali remaja tidak mampu menghadapi masalah yang dihadapi dan timbul rasa frustrasi. Dalam hal ini kemampuan problem solving yang efektif dibutuhkan agar remaja tidak lari pada tindakan-tindakan yang menyimpang.
7.         Identity achievement. Keluarga harus mendorong dalam pencapaian identitas remaja. Salah satu pemicu dari perilaku delinkuen adalah kegagalan dalam mencapai identitas. Dalam penelitian yang menghubungkan antara perkembangan identitas dengan pola pengasuhan dari orang tua, remaja yang memiliki orang tua yang demokratis, yaitu yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan keluarga, akan lebih cepat mencapai identity achievement.
8.         Asertif dan terbuka. Remaja diajarkan untuk asertif dan terbuka, hal ini bertujuan agar remaja terbuka dan mengungkapkan keinginannya terhadap keluarga. Komunikasi dari kedua belah pihak sangat dibutuhkan agar orang tua dan remaja saling memahami dan dapat mengkomunikasikan keinginan masing-masing. Komunikasi yang baik merupakan salah satu kunci dari keharmonisan keluarga.
9.         Potensi dan Bakat Remaja. Memfasilitasi potensi dan bakat remaja pada kegiatan yang positif. Munculnya perilaku delinkuen seperti perkelahian, tawuran pelajar, dan vandalisme selain dipengaruhi karena kurangnya kontrol emosi dan pemahaman remaja terhadap tindakannya, juga disebabkan karena remaja tidak mempunyai tempat untuk menyalurkan aktivitas fisik dan emosi mereka.
10.     Memberikan Kebebasan. Memberikan kebebasan kepada remaja untuk mengemukakan pendapatnya dalam batas-batas kewajaran tertentu. Dengan demikian, anak-anak dapat berani untuk menentukan langkahnya, tanpa ada keraguan dan paksaan dari berbagai pihak, sehingga mereka dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.